1.5M ratings
277k ratings

See, that’s what the app is perfect for.

Sounds perfect Wahhhh, I don’t wanna

Cintailah DiriMu

Terkadang kita merasa dihadapkan pada keadaan tiada pilihan. Pasrah. Gampangnya kita bisa bilang, “Ikuti arus saja.” Kemudian kita merasa arus menyeret kita ke sebuah pusaran, membuat kita tenggelam. Megap. Tidak dapat bernapas karena kita ditarik ke bawah, ke dalam air.

Tidak apa-apa. Sejenak kita akan panik dan berusaha naik ke permukaan untuk mendapatkan udara. Itu adalah salah satu pilihan. Pilihan lainnya adalah kita dapat menenangkan diri sejenak, mencoba mencari pijakan pada kaki, atau cukup menahan napas dan menunggu karena ketika kita terlempar keluar dari pusaran air, tubuh kita akan mengapung ke permukaan. Mungkin butuh waktu yang lama dan mungkin kita sudah kehabisan oksigen sebelum terlempar keluar dari pusaran. Mungkin juga kalau kita tidak melawan arus, maka kita akan terlempar keluar dengan cepat dan selamat.

Kita juga dapat mengerahkan seluruh kekuatan kita untuk keluar dari pusaran air tentunya. Namun ada kemungkinan tenaga kita duluan habis, lemas, dan berhenti bernapas sebelum kita terbawa arus kembali ke permukaan.

Setelah keluar dari pusaran air yang gagal menenggelamkan kita, arus membawa kita menuju jurang yang tinggi. Ya, air terjun. Kita kembali memilih menggapai batu-batu licin di tepi jurang atau pasrah mengikuti arus dan terjun ke bawah. Apakah ada batu besar yang menunggu di bawah? Apakah air yang terjun dari atas memberikan pukulan yang sangat dahsyat ke tubuh kita? Apakah kita akan jatuh menghantam permukaan air seperti dilempar ke bawah dari gedung bertingkat?

Tidak ada jawaban yang pasti untuk semua pertanyaan-pertanyaan atau kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas. Lalu apakah kita boleh tidak memilih? Kita tidak mau mengikuti arus? Kita tidak mau memilih menunggu di pusaran air atau mencoba keluar dari pusaran. Kita tidak mau memilih menggapai batu di tepi jurang atau ikuti arus terjun ke bawah.

Segala sesuatu adalah Pilihan.
Terkadang Anda pilih Tidak Memilih.

Photo by Jens Johnsson @PexelsALT

Photo by Jens Johnsson @Pexels

Bahkan ketika kita menemukan papan penunjuk arah seperti gambar di atas, yang hanya terdapat satu tanda panah, satu tempat tujuan, kita merasa tidak punya pilihan selain mengikuti arah panah tersebut. Sebenarnya kita tetap memiliki sekurang-kurangnya 2 buah pilihan. Pilihan untuk mengikuti arah panah tersebut atau kembali ke tempat sebelumnya. Kemudian kita sadar bahwa ternyata ada lebih banyak pilihan. Kita bisa menunggu orang lain melintas dan kita dapat bertanya kepada mereka apa yang ada di depan.

Hidup kita juga demikian. Sering kita merasa mendapatkan “sial” yang bertubi-tubi seperti halnya pusaran air dan air terjun yang bisa saja menenggelamkan kita. Seketika kita berpikir kenapa airnya harus mengalir, kenapa tidak berhenti saja? Kalau air tidak mengalir, kemungkinan terjadi banjir di hulu dan merendam pemukiman penduduk atau sawah mereka dan menimbulkan kerugian besar atau malah kematian yang lebih banyak. Apakah memikirkan hal itu membuat kita merasa lebih baik? Merasa kita berkorban untuk orang yang lebih banyak?

Yah, pemikiran positif seperti itu cukup baik, namun yang lebih baik lagi adalah kita harus berpikir positif untuk diri kita sendiri. Pikiran “demi orang lain”, “demi orang banyak”, ujung-ujungnya membuat kita haus akan penghargaan. Kita ingin membangun karakter “suka menolong” pada diri kita. Kita ingin membangun karakter “rela berkorban” untuk diri kita di mata orang lain.

Apa pun yang kita lakukan, apa pun yang kita pilih, kita berusaha menebak apa yang akan terjadi berikutnya namun kita tidak tahu hasilnya secara pasti, ketika ada faktor lain yang turut mempengaruhi segalanya bisa berubah. Seringnya memang demikian, hasil tidak sesuai dengan ekspektasi kita dan kita merasa kita sial dan salah memilih.

Yang terbaik adalah memikirkan bagaimana menyelamatkan diri kita pada saat genting, berusaha untuk tidak panik, dan jangan pernah menyalahkan diri kita sendiri untuk segala yang terjadi berikutnya karena kita tidak tahu pasti hasilnya, apa pun pilihan kita pada saat itu.

Love yourself decisions unpredictable not blaming jangan menyalahkan diri pilihan selalu tentang pilihan tak ada yang pasti

Kapan Harus Menyerah?

“Ketika ada ide melintas di kepala maka kita catat dan kita rumuskan cara untuk mewujudkannya. Ketika ada jalan maka kita mencoba. Ketika ada rintangan maka kita mencari solusinya… “ - Chienline -

Selalu ada siklus dalam mengupayakan sesuatu hal yang kita inginkan. Namun terkadang rintangan muncul dari segala arah. Dari diri sendiri maupun dari luar. Ketika kita merasa sudah dekat dengan kemenangan … muncul pula rintangan yang baru, “Mengapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya ya?” Tidak semua hal dapat kita pikirkan. Terkadang masalah baru datang seiring dengan perjalanan waktu.

Kami merencanakan digital payment dengan dengan badan hukum koperasi. Kami telah mengumpulkan 20 orang yang memiliki network yang luas mencakup hampir seluruh aktivitas di seluruh aspek ekonomi di kota kami yang kecil. Kami juga telah memiliki rekan platform yang akan menjadi pusat dari segala ide kami menjalankan digital payment tersebut. Dengan melibatkan pemilik platform diharapkan akan lebih menjamin keamanan data dan juga kemudahan dalam pengembangan aplikasi sesuai kebutuhan kita.

Apa yang terjadi? Setelah menempuh repotnya pengadaan izin dan akhirnya berhasil mengantongi izin usaha, ternyata platform yang tadinya mau kita gunakan malah berputar haluan dan tidak lagi bergerak di bidang tersebut. Dengan menggunakan platform lain, kita terpaksa dikenakan biaya dan kita harus menyusun ulang business plan dari awal dengan memperhitungkan biaya yang timbul dan mencari peluang pemasukan untuk menutupi biaya tersebut. Hal ini juga mengakibatkan anggota awal mengundurkan diri. Dengan mundurnya beberapa orang juga memengaruhi ide awal dengan jaringan mereka yang luas, artinya kini ekspektasi jaringan kita lebih kecil dari prediksi awal dan juga bisa makin besar. Sebuah tantangan baru.

image
Stock Photo by Pexels.

Memikirkan peluang baru untuk menjalankan koperasi terkadang membuat saya terlalu bersemangat hingga tidak bisa tidur karena ide-ide sering muncul mejelang tidur, ketika berfikir dalam keheningan. Tertidur pukul 5 pagi dan harus bangun lagi pukul 6 untuk melanjutkan aktivitas harian. Dan ide-ide tersebut akan terus berlanjut beberapa hari ke depan, ketika saya mulai melihat peluang dan mencari bacaan-bacaan yang mendukung ide tersebut. Akhirnya pekerjaan utama yang menjadi korban. Kehilangan fokus terhadap pekerjaan utama yang monoton dan mengejar impian baru yang menantang. Itulah cara berfikir seorang programmer, DIYer, IT and gadget lover seperti saya. Namun pemikiran saya yang juga selalu menyenggol manajemen resiko menyadarkan saya. Pekerjaan utama adalah penopang hidup saya saat ini, yang juga menghidupi puluhan rumah tangga anggota pekerja saya sedangkan tantangan baru koperasi adalah sesuatu yang belum jelas, maka tidak ada alasan bagi saya untuk mengorbankan pekerjaan utama. Itu membuat saya harus mundur selangkah ke belakang yang tentunya juga akan mengakibatkan kehilangan lebih banyak partnership koperasi karena jalan di tempat.

Failure will make you a better person …

Sebuah ungkapan yang kini saya rasakan benar adanya. Ya, dalam sebuah kegagalan selalu dibarengi kekecewaan. Ide saya untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba sesuatu yang baru akhirnya harus kembali ke zona awal di mana saya berada. Tetapi proses yang sudah dijalani tidak ada yang sia-sia. Di dalam prosesnya, saya bertemu orang-orang, yang juga menambah wawasan saya. Mempelajari cara berfikir teman-teman. Belajar tentang koperasi dan peraturan perundangan yang mengatur tentang koperasi dan keuangan. Mencari data-data dan melihat berbagai peluang baik melalui koperasi maupun di luar koperasi. 

Terkadang kita harus berani mengambil langkah mundur. Bukan berarti menyerah. Dengan melangkah mundur, pandangan kita kedepan menjadi lebih lebar. Kini saya tidak terfokus pada digital payment saja. Masih banyak oportunitas lainnya yang dapat ditempuh. Saat ini saya hanya perlu menemukan orang yang tepat untuk menggerakkan ide saya. Karena saya tidak akan mengulangi hal yang sama yaitu membuyarkan fokus pada usaha utama saya.

koperasi mundurSelangkah pantangMenyerah leadership nikmatiProses entrepreneurship

Be Careful What You Wish For …

image

- Photo by Inzmam Khan from Pexels -


Saya termasuk orang yang percaya kepada Mind Power (kekuatan pikiran). Sebelumnya saya juga menulis mengenai hal ini, namun karena blog tersebut sudah terblokir maka tidak dapat saya link ke sini. Kali ini saya mengalami kengerian mengingat apa yang pernah saya pikirkan sebelumnya. Saya lebih cenderung kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, namun saya juga percaya kepada ramalan, roh halus, dan Tuhan, meskipun belum dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan atau bagaimana hubungannya dengan pemikiran manusia. Mengapa saya bisa percaya begituan? Mereka (orang yang memiliki ilmu untuk berkomunikasi dengan roh) dapat menyebutkan hal-hal pribadi kita secara detil, yang tidak pernah kita beritahukan sebelumnya. Dari mana mereka tahu? Katanya melalui komunikasi dengan roh atau Dewa atau Tuhan. Percaya? Ya, mereka membuat saya percaya.


Kisah apa yang membuat saya bergidik memikirkannya? Ada seorang yang awalnya berniat membantu. Akhirnya malah dia yang mengganggu ketentraman kita. Dengan berbagai upaya yang dia lakukan ternyata dia sejak awal hanya berpura-pura menjadi “orang baik” bagi kedua belah pihak. Kini dia tidak baik terhadap kita, juga tidak baik terhadap orang yang bertikai dengan kita sebelumnya, melainkan hanya ingin mendapatkan sejumlah uang dari kedua belah pihak.

Setelah setengah tahun “berperang”, setiap pagi saya melihat dia duduk di warung di persimpangan jalan dengan komplotannya. Hanya sebuah pos kecil di mana ada yang berjualan sarapan di depannya setiap pagi hari. Setiap pagi berangkat ke tempat kerja saya selalu melewati jalan tersebut dan setiap pagi melihatnya duduk bersantai dengan anggota geng nya membuat hati ini emosi, mengingat apa yang dia lakukan terhadap keluarga saya. Jadi ini markas mereka. Jadi ini tempat mereka berkumpul dan merencanakan tindakan-tindakan yang merugikan kita. Demikianlah yang terlintas di pikiran saya. Kemudian saya berpikir “Mengapa tempat tersebut tidak dihancurkan saja, atau si penjual sarapan pindah ke kota lain saja agar mereka tidak lagi berkumpul dan merencanakan kegiatan-kegiatan jahat.” Saya tahu itu adalah pikiran yang jahat. Hanya pelampiasan emosi. 

Sebulan kemudian, saya mendengar berita ada warung di jalan tersebut yang terbakar. Saya langsung membayangkan apa yang menjadi “keinginan” saya sebelumnya tetapi saya masih belum yakin karena banyak warung di sepanjang jalan tersebut. Saya ingin menepis pikiran tersebut, namun rasa ingin tahu ini memaksa saya untuk melintasi jalan tersebut untuk memastikan berita kebakaran yang diucapkan keesokan harinya. Setibanya di lokasi ternyata benar warung tersebut gosong dan disegel garis polisi. Saya yang seharusnya merasa senang karena “keinginan saya terwujud” malah menjadi takut akan pikiran saya sendiri. Semoga saja tidak ada korban dalam kebakaran tersebut.


Saya tetap berharap pertikaian kita akan segera berakhir. Tentunya akan baik bagi satu pihak dan kurang baik bagi pihak lainnya. Biarlah “karma” yang berkerja. Saya belum bisa memahami algoritma karma yang dikatakan dapat “berbuah” dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang, atau bahkan berbuah di kehidupan berikutnya tetapi apa yang diajarkan adalah positif. 

Berbuat baik akan menuai kebaikan. Berbuat jahat akan menuai derita. 


image

- Photo by suphamongkhon arwatchanakarn from FreeImages -


Tentu saja semua orang mendambakan kehidupan yang baik, karena itu mereka akan berbuat baik dan menghindari kejahatan. Kini, satu hal yang saya pelajari, bukan hanya berbuat baik, tetapi kita usahakan selalu berpikiran baik.

mind control mindcontrol pikiran perbuatan keinginan terkabul

Kembali Ke Masa Lampau

image

- Photo by Giallo from Pexels -


Banyak orang ingin mengetahui masa depan mereka, apakah mereka akan bahagia, makmur, atau sebaliknya. Namun banyak juga yang merasa menyesal dan ingin kembali ke masa lalu, masa-masa ketika segalanya terasa indah. Hmm… kata segalanya kurang tepat untuk kalimat di atas. Selalu ada masa indah dan juga ada masa sulit dalam setiap perjalanan hidup kita. Tentu setiap orang menginginkan masa-masa bahagia dan indah dalam hidup mereka. Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa masa-masa sulitlah yang menempa karakter kita. Masa sulit membuat kita belajar untuk mencari solusi dan keluar dari kesulitan yang kita hadapi. Masa sulit menciptakan pengalaman pahit, namun hal tersebut dapat membuat kita lebih mudah untuk survive di masa yang akan datang.

Apakah ada yang saya sesali saat ini sehingga membuat saya ingin kembali ke masa lampau? Saya tidak akan menyebut hal ini sebagai penyesalan. Hal ini terjadi tanpa disengaja ketika saya menemukan blog saya tidak bisa dibuka dengan alasan ada akses yang berlebihan ke blog saya yang diperkirakan sebagai akses bot untuk melakukan penipuan visit counter atau ad clicks. Saya diminta untuk menghubungi admin (free hosting) untuk dibuka kembali aksesnya jika memang bukan penipuan (fraud). Yah, tidak ada salahnya sih dengan kebijakan seperti itu, namanya juga gratisan. Mereka juga menjaga server mereka agar tidak diserang secara sengaja untuk melambatkan layanan mereka. Namun yang saya pikirkan adalah, jika hal seperti ini berulang, maka sangat merepotkan untuk menyurati mereka setiap kali terblokir. Dan jika memang jumlah visit dibatasi, artinya blog saya tidak akan pernah berkembang. Padahal ide awalnya agar bisa berkembang dan menghasilkan uang saku dari hosting iklan. Yeah, masalah isi tidak berkualitas (lebih ke arah diary pribadi), namun segala sesuatu kan perlu pembelajaran, dan perubahan secara pelan-pelan ke arah yang lebih baik. Saya memiliki banyak ide untuk dituangkan dalam tulisan, namun harus saya akui menulis serius itu tidak mudah. Maka saya mulai dengan menulis santai.

Apa yang terjadi setelah blog saya terblokir? Saya memikirkan domain “chienline.com” yang saya bayar per tahun. Meskipun boleh dibilang biaya tersebut tidak seberapa bagi saya untuk saat ini, tapi kalau sudah dibayar dan tidak digunakan namanya buang-buang duit. Akan lebih bagus kalau didonasikan saja. Karena hal itulah saya berusaha mengaktifkannya lagi. Lalu saya iseng mencari tempat hosting gratis yang ramai digunakan oleh blogger dan mempelajari fitur yang mereka berikan. Tak sengaja saya menemukan blog saya yang lama di chienline.tumblr.com masih aktif dan bisa diakses. Saya refreshing kembali fitur-fitur yang ditawarkan oleh Tumblr. Sepertinya konsep micro-blogging menjadi menarik membayangkan saya dapat memposting tulisan-tulisan sederhana layaknya di Twitter atau Facebook melalui telepon genggam saya. Saya juga membaca kembali tulisan-tulisan yang saya buat sebelumnya, kembali bernostalgia dengan beberapa kisah yang lama. Jadi saya putuskan untuk kembali menggunakan akun saya di Tumblr setelah saya permak tampilan dan font agar tulisan lebih enak dibaca. Bagaimana nasib tulisan saya di blog yang sebelumnya? Biarkan sajalah, mungkin saya akan menemukannya kembali seperti saya menemukan kembali akun Tumblr saya. Mungkin mereka akan mengembangkan fitur-fitur baru yang mengikuti perkembangan jaman. Siapa tahu? Mungkin saja.

Selamat datang di masa lampau…

Perjalanan Yang Tak Akan Terlupakan

image

Perjalanan dengan transportasi umum seperti kereta api lebih menyenangkan dan santai dibandingkan dengan mobil pribadi. Kabin yang luas dan tempat duduk yang nyaman dapat mengatasi rasa pegal apabila kita harus menempuh perjalan ratusan kilometer. 

Kini PT. KAI memberikan perubahan yang sangat besar dengan memberantas pedagang asongan yang berlalu-lalang di atas kereta sehingga perjalanan menjadi semakin nyaman. Dan juga pembelian tiket secara online sangat praktis dan otomatis menghilangkan calo-calo yang menjual tiket dengan harga luar biasa terutama pada peak season dimana kita wajib pulang untuk berkumpul atau berangkat untuk bekerja.

image

Selasa, 31 Januari 2017; 15:30 WIB

Anak-anak sangat menikmati perjalan dengan Kereta Api Sribilah Utama yang kita tumpangi dari Rantau Prapat (RAP) menuju Tebing Tinggi (TBI). Tiket kelas eksekutif seharga Rp.150.000,-/orang cukup terasa di kantong, karena tidak ada perbedaan harga tiket orang dewasa dan anak-anak. Namun melihat keceriaan di wajah anak-anak yang menikmati perjalanan di dalam kereta api membuat kita merasa harga tersebut pantas untuk kenyamanan yang ditawarkan dibandingkan dengan berdesakan di dalam mobil pribadi dan tidak dapat leluasa bergerak selama 4 jam perjalanan.

Perubahan Suasana

Bukan hanya perubahan suasana dari berdesakan di mobil menjadi nyaman di gerbong kereta api yang kita dapatkan pada liburan kali ini, tetapi kita juga mendapatkan perubahan suasana dari nyaman menjadi tegang pada saat kereta api tiba di stasiun Tebing Tinggi, di mana kita seharusnya mengakhiri perjalanan kita.

Beberapa menit menjelang ketibaan di stasiun Tebing Tinggi, kita mendapatkan pemberitahuan melalui loudspeaker yang kurang lebih seperti ini (saya tidak menghafal/merekam kata-katanya secara pasti) : “Penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan tiba di stasiun Tebing Tinggi. Bagi penumpang yang hendak turun diharapkan mempersiapkan barang-barangnya agar jangan sampai ketinggalan. Penumpang diharapkan tetap duduk hingga kereta berhenti. Terima kasih.

Maka kami pun segera membereskan barang bawaan kami, demikian juga anak-anak. Bersama kami ada seorang nenek, kenalan orang tua saya, yang juga akan turun di stasiun Tebing Tinggi. Pada saat kereta api berhenti saya berjalan di depan, anak-anak berjalan di tengah dan istri saya berjalan di belakang. Nenek juga ikut berjalan bersama kami. Pada pintu keluar pertama saya mendapati bahwa jarak dari saya berdiri (lantai gerbong kereta api) hingga ke tanah ada sekitar 1,5 meter atau bahkan lebih. Ya, satu setengah meter ke tanah dan tidak ada lantai peron di sana.

image

Ini foto yang saya ambil sebelum keberangkatan karena saya dan anak-anak sangat mengagumi mesin kereta api. Mungkin bisa dibayangkan jaraknya dari lantai gerbong hingga ke tanah, ditambah tumpukan batu kerikil dan balok landasan rel yang sudah setinggi 30 hingga 40 sentimeter dari tanah.

Memang sejak awal sudah kami rencanakan kalau saya harus turun duluan kemudian menurunkan anak-anak dari bawah, karena itu saya berjalan di depan. Namun saat hendak turun saya berpikir kembali, bagaimana dengan nenek yang ikut dengan kita? Saya juga takut bila disuruh menggendong si nenek yang berusia 70-an untuk turun setinggi itu. Bagaimana kalau tulangnya yang rapuh patah saat saya cengkeram terlalu kencang? Apalagi kalau si nenek disuruh lompat, sangat tidak mungkin bagi kakinya untuk melompati jarak setinggi itu.

Pada saat bersamaan seorang penumpang lainnya menyarankan untuk turun melalui gerbong yang lebih depan karena di sana terdapat peron yang hampir rata dengan lantai gerbong. Maka kami memilih untuk mengikuti sarannya dengan berjalan ke depan. Pada gerbong kedua yang kami lewati mulai ramai dengan penumpang yang naik dari stasiun Tebing Tinggi, sehingga kami harus bergerak lebih lambat untuk berpapasan di lorong yang sempit dengan penumpang lain yang barusan naik. Pada saat hendak memasuki gerbong ketiga berupa gerbong barang yang kosong dan gelap, seorang petugas menyapa kami, “Mau ke mana, Pak?” Maka saya menjawab pertanyaannya bahwa kami akan turun melalui gerbong depan. “Tapi Pak, kereta sudah jalan.” Dan benar. Kereta mulai bergerak pelan. Dan kita mulai panik dan minta kepada petugas tersebut untuk memberitahukan masinis untuk menghentikan kereta sejenak agar kami dapat turun. Petugas tersebut bukannya bergerak, malah berdiri dan berdebat dengan kita “Tidak bisa, Pak. Itu semua diatur oleh pusat dan kita tidak bisa menghentikan kereta.” Padahal kereta baru mulai bergerak sejauh 1 meter dengan kecepatan berkisar 1 km/jam. Kenapa tidak bisa usahakan untuk berhenti dan menurunkan kita?

Istri saya yang panik bercampur kesal menerobos petugas tersebut dan akhirnya disamperin Manager on Duty (dari seragam biru tua nya kelihatannya begitu). Dengan jawaban yang sama kami diberitahukan bahwa kereta tidak dapat diberhentikan dengan alasan akan mengganggu jadwal kereta ini dan juga kereta lainnya dan dia tidak bisa berbuat apa-apa mengenai hal itu. Ya, dapat dimengerti bahwa jadwal kereta sangat padat dan perselisihan antar kereta di jalur sangat fatal apabila tidak dikoordinasi dengan benar oleh pusat. 

Namun pembahasan lebih lanjut malah membuat saya semakin kesal. Mengapa? Petugas seolah-olah menyalahkan kita dengan pernyataan “Kan sudah ada pemberitahuan untuk bersiap-siap saat kita hendak memasuki stasiun.” Langsung saya bacakan kembali pemberitahuan yang dikumandangkan melalui pengeras suara tadi dengan menekankan “Penumpang diharapkan TETAP DUDUK HINGGA KERETA BERHENTI.” Saya bahkan mengingatkan anak-anak saya untuk tetap duduk hingga kereta benar-benar berhenti, sesuai dengan instruksi yang disampaikan. Si petugas  menimpali “Maksud kami pintu jangan dibuka sebelum kereta berhenti.” Lah, terus pengumumannya harus diganti dong menjadi “Penumpang diharapkan berdiri di dekat pintu dan SIAP-SIAP MELOMPAT KELUAR KARENA WAKTU BERHENTI HANYA 3 MENIT namun jangan buka pintu sebelum kereta berhenti,” bukan begitu? Meskipun saya keturunan Tionghoa, saya lahir di Indonesia, KTP Indonesia dan saya dapat mengerti Bahasa Indonesia dengan baik. Dan saya yakin saya memahami dengan benar pengumuman yang disampaikan melalui pengeras suara. Kata-kata yang disampaikan petugas bukannya menenangkan dan memberikan solusi melainkan lebih kepada MENYALAHKAN KITA (PENUMPANG).

Saya sering berpergian dengan kereta api sejak masa sekolah dan kuliah di Medan. Pada saat itu kita merasa cukup dengan kelas ekonomi, berdesakan, dan malah lebih senang berdiri di pintu selama 2 jam perjalanan. Kita masih bandel dan tidak acuh terhadap pengumuman yang disampaikan dan dengan mudah melompat turun sesaat sebelum kereta api benar-benar berhenti. Karena pada masa itu pedagang asongan akan terlebih dahulu melompat naik sebelum Anda sempat turun. Untuk kondisi di atas, kereta hanya berhenti 3 menit (seperti yang disampaikan petugas), sekalipun atlet lari nasional disuruh berlari dari gerbong kedelapan menuju gerbong ketiga dengan beberapa orang penumpang yang naik dan berdiri di lorong gerbong, saya yakin dia tidak dapat mencapainya dalam waktu 3 menit tanpa bikin penumpang lain marah (tabrak sana sini). Apalagi kondisi saya dan istri saya yang menuntun 4 orang anak dan seorang nenek. Namun saya tidak mampu marah kepada petugas yang terus berkata “kami tidak bisa berbuat apa-apa” sambil menebarkan senyuman maut di bibirnya …

Kemudian kita memohon agar kita dapat diturunkan di stasiun terdekat berikutnya dan saya bisa panggil supir untuk menjemput kita di sana. Tetap saja kami mendapatkan jawaban “TIDAK” dengan alasan pemberhentian berikutnya diatur oleh pusat dan kita akan berhenti di Stasiun Lidah Tanah (Pasar Bengkel) yang berjarak lebih kurang 45 kilometer dari rumah saya. Daripada kita emosi dan capek berdebat tanpa solusi, saya menginstruksikan istri dan anak-anak dan nenek tersebut untuk kembali ke tempat duduk kita dan turun di pemberhentian berikutnya, sambil menelepon supir untuk menjemput kita di sana.

Sekembalinya kita ke tempat duduk, kursi tersebut telah terisi penumpang yang barusan naik. Namun terima kasih kepada para penumpang yang baik hati, banyak yang menawarkan tempat duduk untuk nenek, istri saya dan juga anak-anak saya. Para penumpang ikut emosi melihat kejadian yang kita alami. Bahkan ada yang berteriak kepada petugas “Mereka adalah penumpang kelas Eksekutif dengan biaya yang tidak murah. Beginikah pelayanan yang diberikan kepada penumpang kelas tertinggi?” Kami bahkan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli makanan di atas kereta api untuk anak-anak karena sudah jam 8 malam, sedangkan makanan yang telah dipersiapkan di rumah terbuang sia-sia. Juga biaya tambahan untuk supir yang menjemput dan perjalanan mahal ini pasti menjadi pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan. Ya, orang-orang mengejek “Sudah bayar mahal, sayang dong kalo harus cepat-cepat turun.

Akhirnya kita berhenti di Stasiun Lidah Tanah (Pasar Bengkel) dengan kondisi yang sama, jarak ke tanah 1,5 meter lebih. Namun kali ini kita dibantu oleh para petugas di kereta api. Petugas sapu turun duluan dan ikut membantu menurunkan anak-anak. Petugas lain mengambil kursi untuk dijadikan tangga. Meskipun bergoyang-goyang karena kursi diletakkan miring di atas tumpukan batu kerikil bantalan rel yang curam, namun ada petugas yang memegang kursi dan juga ada petugas yang menuntun istri saya dan nenek. Banyak penumpang lainnya dengan tujuan ke Medan, menawarkan makanan yang mereka miliki karena kita masih harus menunggu jemputan di Stasiun Lidah Tanah yang sepi. Petugas kereta api kemudian minta maaf lagi kepada kami dan pengalaman ini akan menjadi masukan bagi mereka untuk memperbaiki peron di Stasiun Tebing Tinggi dan stasiun-stasiun lainnya. Ya.. untuk kedepannya … namun saya rasa anak-anak akan trauma untuk kembali melakukan perjalanan dengan kereta api.

image

Di sinilah kami terdampar menunggu jemputan. Ruang tunggu Stasiun Lidah Tanah yang sepi dan tanpa kursi sehingga kami harus meminjam sebuah kursi dari ruang petugas untuk nenek.

Sistem check-in yang sekelas pesawat udara, mengapa tidak dimaksimalkan sistem check-out nya? Padahal penjagaan di pintu masuk dan keluar stasiun sudah sangat ketat? Data-data dari penumpang sudah lengkap dengan adanya sistem online. Tujuan penumpang sudah tertera di tiket boarding. Bagaimana pula dengan penumpang yang ketiduran karena lelah dan harus dibawa hingga ke pemberhentian terakhir? Mungkin saya bisa beli tiket Rantau Prapat - Pamingke seharga Rp.90.000,- namun saya turun di Tebing Tinggi atau Medan? Selisihnya 60 ribu loh. Masih ada celah kan? Pelayanan yang demikian tidak sebanding dengan ongkos Eksekutif yang dibayar, dengan resiko patah kaki dengan melompat dari ketinggian 1,5 meter. Saya akan beralih ke mobil pribadi dengan biaya bahan bakar Rp.200.000,- dan secangkir kopi dibandingkan dengan biaya kereta api Rp.900.000,- (6 x Rp.150.000,-)

Terima kasih kepada PT. KAI Divre I Sumatera Utara yang telah memberikan pengalaman berharga yang tidak akan terlupakan.


Regards,

Suwardi Thio
Jl. Suprapto No.122-124
Tebing Tinggi - 20615
Sumatera Utara
Mobile : 08153103336
Mail : chienline.oscarius@gmail.com

PT KAI divre1sumut perjalanan KeretaApi mengesankan TakTerlupakan eksekutif pelayanan chienline oscarius oscariusThio